JAKARTA - Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Silmy Karim mengatakan pihaknya akan bersikap kooperatif terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait Direktur Teknologi dan Produksi perusahaannya yang terkena operasi tangkap tangan.
"Manajemen Krakatau Steel menghormati dan menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang berlaku dan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi," ujar Silmy dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 23 Maret 2019.
Baca: KPK Izinkan Direktur PT Krakatau Steel Hadiri Pernikahan Anaknya
Saat ini, kata Silmy, Krakatau Steel tengah melakukan pembenahan internal di segala bidang serta praktik manajemen. Ia pun memastikan tidak ada kebijakan menyimpang yang dikeluarkan oleh perusahaan. "Tidak ada satu pun kebijakan perusahaan yang mendukung adanya praktek-praktek yang tidak sesuai dengan Good Corporate Governance," kata Silmy
Menurut Silmy, penangkapan salah satu direkturnya, lanjut dia, tidak akan berpengaruh terhadap program kerja, pengembangan, serta pencapaian target Krakatau Steel di tahun 2019. Ia pun berharap proses hukum yang tengah berjalan dapat segera selesai. "Sehingga perseroan segera dapat memenuhi target, baik produksi baja untuk mendukung pembangunan infrastruktur nasional," ucap Silmy.
KPK sebelumnya resmi menetapkan Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel Wisnu Kuncoro sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa antara PT Krakatau Steel (Persero) dengan pihak swasta. "KPK telah menyelesaikan penyelidikan dan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK menaikkan status penanganan perkara ini ke tingkat penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 23 Maret 2019.
Selain Wisnu, KPK juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka, yakni Alexander Muskitta dari pihak swasta. Wisnu dan Alexander menjadi tersangka penerima suap. Sedangkan tersangka Kenneth Sutardja dari pihak swasta, serta Kurniawan Eddy menjadi tersangka pemberi suap. Hanya saja, kata Saut, Kurniawan Eddy masih dalam pencarian atau buron.
Saut menjelaskan, kasus ini bermula ketika Wisnu Kuncoro merencanakan kebutuhan barang dan peralatan masing-masing bernilai Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar. Dalam proses perencanaan tersebut, Alexander diduga menawarkan beberapa rekanan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut kepada Wisnu Kuncoro dan disetujui.
Kemudian, Alexander menyepakati commitment fee dengan rekanan yang disetujui untuk ditunjuk, yakni PT Grand Kartech dan Group Kotjo senilai 10 persen dari nilai kontrak. "Saudara AMU (Alexander) diduga bertindak mewakili dan atas nama Wisnu Kuncoro, selanjutnya dia meminta Rp 50 juta kepada Kenneth Sutardja selaku unsur swasta dari PT Grand Kartech dan Rp 100 juta kepada Kurniawan Eddy dari Group Kotjo," ucap Saut.
Lalu, pada 20 Maret 2019, Alexander menerima cek senilai Rp 50 juta dari Kurniawan Eddy yang kemudian ia setorkan ke rekeningnya. Alexander juga menerima US$ 4 ribu dan Rp 45 juta di sebuah kedai kopi di Jakarta Selatan dari Kenneth Sutardja. Selang dua hari kemudian, 22 Maret 2019, uang sebesar Rp 20 juta diserahkan Alexander kepada Wisnu Kuncoro di sebuah kedai kopi di daerah Bintaro, Jakarta Selatan.